DISKURSUS GANJA MEDIS PADA REGULASI UU NARKOTIKA
- Dewan Perwakilan Mahasiswa FIA Unkris
- Apr 13, 2021
- 3 min read
Tanaman Ganja dikenal sebagai salah satu tanaman yang berbahaya dan diketahui sebagai sumber kesenangan karena memiliki sifat psikoaktif. Seiring dengan kemajuan penelitian sains, tanaman ganja diketahui memiliki fungsi medis berkat kandungan cannabidiol (CBD) dan Tetrahydrocannabidiol (THC). THC inilah yang berbahaya karena bisa membuat orang 'melayang' dan menimbulk6an efek ketagihan, sedangkan CBD tidak memabukkan. CBD inilah yang bisa digunakan untuk obat-obatan, produk kecantikan, perabotan hingga bahan bakar.
Pada tahun 1966 Raphael Mechoulam, seorang peneliti dari Institut Weizmann di Israel mulai meneliti Cannabis sativa, nama Latin ganja dan menemukan CBD dapat digunakan untuk mengobati epilepsi. Selain untuk mengobati epilepsi para ilmuwan mengklaim CBD dapat digunakan untuk penderita autisme bahkan menjadi anti-kanker, meski baru tahap percobaan yang mampu menghentikan sel-sel kanker pada tikus. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, tahun 2018 tercatat 2,4 juta penyandang autisme di Indonesia dapat terbantu dengan obat yang mengandung CBD.
Peredaran dan penyalahgunaan ganja di Indonesia menjadi permasalahan serius yang harus dihadapi bersama. Tahun 2019, Badan Narkotika Nasional berhasil mengungkap lebih dari 33 ribu kasus narkoba dan menyita 112 ton ganja. Ketua baleg DPM FIA Val Fawwaz berpendapat, jika 112 ton ganja ini diekspor untuk ganja medis dengan harga per gram 200 ribu rupiah, maka harga per kilogram dapat memperoleh pendapatan 20 miliar rupiah. Sayangnya di Indonesia belum ada aturan untuk ekspor ganja. Bahkan menggunakan ganja untuk pengobatan pun dilarang karena termasuk dalam narkotika golongan I mengacu pada Pasal 8 UU 35/2009 tentang Narkotika. Hukuman penjara selama 12 tahun berlaku untuk siapa saja yang mempunyai, menyimpan dan menyediakan ganja.
Keputusan mengejutkan datang dari forum The UN Commission on Narcotic Drugs (CND) atau Komisi Narkotika Perserikatan Bangsa Bangsa. CND mengeluarkan ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menjadi golongan I, artinya ganja dikenali sebagai zat yang memiliki manfaat bagi dunia kesehatan. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta melakukan pemungutan suara dengan melibatkan 53 negara di Wina, Austria. Terdapat 27 negara menyetujui, 25 negara menolak dan satu abstain. Keputusan tersebut bukan berarti menghapus ganja dari daftar obat terlarang, namun keputusan ini dapat membuka sekaligus mempermudah riset-riset mengenai ganja dalam bidang kesehatan.
Yayasan Sativa Nusantara (YSN), organisasi yang fokus pada advokasi pemanfaatan tanaman-tanaman Indonesia, termasuk ganja, mendorong DPR dan pemerintah segera merevisi UU Narkotika. Menurut Direktur Hukum dan Kebijakan YSN Yohan Misero, revisi tersebut bertujuan untuk pasien-pasien yang membutuhkan ganja medis di Indonesia memiliki akses yang terjamin hukum. Oleh karena itu Badan Narkotika Nasional (BNN), DPR, serta Stakeholder terkait dan Masyarakat perlu mempertimbangkan untuk revisi dan mengkaji isi dari UU Narkotika di Indonesia.
Anggota Badan Legislasi/Komisi II DPM FIA UK Dede Winata Putra berpendapat, pemanfaatan ganja adalah suatu terobosan untuk Indonesia dalam membuat obat yang berbahan baku ganja dan mengembangkan obat yang berasal dari tanaman ganja. Pemerintah harus berani untuk melegalkan ganja untuk dunia medis, saya yakin pemerintah bisa membuat obat dari bahan baku ganja yang berkualitas serta bermanfaat untuk masyarakat Indonesia. Akan tetapi dalam melegalkan ganja, pemerintah juga harus membuat aturan yang ketat terhadap peredaran ganja dan pembelian ganja agar legalisasi ganja yang ada di Indonesia tidak serta merta digunakan dalam hal yang negatif.
Segala sesuatu akan berbahaya bagi manusia dan menjadi musuh dalam masyarakat jika disalahgunakan. Suka tidak suka, pemerintah perlu melirik perkembangan dunia dalam penggunaan ganja medis. Masyarakat juga perlu diedukasi guna mengubah pola pikir dari melihat ganja sebagai obat terlarang menjadi obat yang diresepkan dokter. Kesiapan masyarakat dan pemerintah perlu dibangun mulai sekarang. Lebih baik sejak awal pemerintah dan DPR mengkaji regulasi yang prospektif secara bisnis dan demi tujuan kesehatan agar tidak kaget ketika semakin banyak obat mengandung ganja diproduksi dunia.
Sumber:
Kompas.com
Tempo.co
Comments